oleh

Alur Penyelesaian Perselisihan Ketenagakerjaan

SKI Bogor | Dalam pemahaman sederhana saja, pekerja adalah aset perusahaan. Kehadiran
pekerja dalam hubungan industrial adalah sebagai mitra kerja pengusaha untuk
menjalankan perusahaannya demi tercapai target bisnis yang telah ditetapkan oleh
manajemen perusahaan.

Sebaliknya pekerja yang berkarya bagi perusahaan melalui
keahlian atau keterampilan akan menerima kompensasi berupa gaji, fasilitas atau tunjangan
hidup yang layak dari pengusaha sesuai kesepakatan kerja atau regulasi ketenagakerjaan
yang berlaku.

Oleh sebab itu, hubungan industrial antara pekerja dan pengusaha walaupun masing-masing berada pada posisi (status) yang berbeda adalah hubungan yang saling
menguntungkan (simbiosis mutualisme).

Namun dalam perjalanan waktu, terkadang pelaksanaan hubungan industrial
tersebut tidak berjalan sesuai harapan pekerja atau pengusaha. Dalam praktek, ada
beberapa faktor yang dapat menimbulkan perselisihan antara pekerja dan pengusaha
sehingga hubungan industrial tersebut menjadi terganggu, macet atau bahkan tidak dapat
dilanjutkan lagi.

Perselisihan hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang
mengakibatkan pertentangan antara pengusaha dengan pekerja :
1. karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau
penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian
kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

2. karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau
perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja atau
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

3. karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan
kerja (PHK) yang dilakukan oleh salah satu pihak.

4. karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan,
pelaksanaan hak, dan kewajiban serikat pekerja.

Dalam rangka penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang timbul antara
pekerja/serikat pekerja dengan pengusaha, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU-PPHI) telah menetapkan alur atau
tahapan proses yang wajib dijalankan dan dipatuhi oleh kedua belah pihak yang berselisih
(Pekerja dan Pengusaha).

Adapun alur atau tahapan proses penyelesaian dimaksud akan
diuraikan sebagai berikut:
1. Perundingan Bipartit
Langkah awal, dalam rangka penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial wajib
diupayakan perundingan bipartit (antara pekerja dengan pengusaha) secara musyawarah
untuk mencapai mufakat. Perundingan ini harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari
kerja sejak tanggal dimulainya perundingan. Perundingan Bipartit dianggap gagal, jika
selama jangka waktu perundingan salah satu pihak menolak untuk berunding atau dalam
perundingan tidak tercapai kesepakatan.

Dalam hal perundingan mencapai kesepakatan penyelesaian, wajib dibuat Perjanjian
Bersama yang ditandatangani oleh para pihak yang mengikat secara hukum. Selanjutnya,
Perjanjian Bersama wajib didaftarkan pada Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri setempat. Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan isi perjanjian Bersama tersebut, maka pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi.

2. Perundingan Tripartit (Mediasi)
Dalam hal perundingan bipartit gagal, maka salah satu atau kedua belah pihak
mencatatkan perselisihannya ke Disnaker Kabupaten/Kota setempat. Tujuan pendaftaran ini
dimaksud sebagai bentuk permohonan agar Disnaker mengupayakan perundingan Tripartit
untuk perselisihan tersebut.

Pendaftaran tersebut harus melampirkan Risalah Perundingan
yang ditandatangani para pihak sebagai bukti telah dilaksanakan perundingan bipartit.

Setelah menerima pencatatan, Disnaker akan menawarkan kepada para pihak pilihan
penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui arbitrase. Namun bila para pihak tidak
menentukan pilihan penyelesaian yang sudah ditawarkan, maka Disnaker akan menunjuk
Mediator untuk penyelesaian melalui mediasi.

Proses penyelesaian melalui mediasi adalah perundingan yang melibatkan 3 (tiga)
pihak yakni: pekerja/serikat pekerja, pengusaha dan mediator (sebagai penengah). Mediator
bertugas melakukan sidang mediasi dan berkewajiban memberikan anjuran tertulis kepada
para pihak yang berselisih. Dalam sidang mediasi, mediator mengadakan penelitian tentang
duduk perkara, meminta keterangan, membuka buku atau surat-surat yang diperlukan serta
dapat melakukan pemanggilan saksi atau saksi ahli. Mediator menyelesaikan proses
mediasi dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja.

Dalam akhir mediasi, apabila tercapai kesepakatan penyelesaian melalui mediasi,
maka dibuat dan ditandatangani Perjanjian Bersama yang disaksikan oleh Mediator serta
didaftarkan pada Pengadilan Hubungan Industrial setempat. Namun, apabila tidak tercapai
kesepakatan penyelesaian dalam mediasi, maka mediator akan mengeluarkan anjuran
tertulis kepada para pihak. Pekerja dan Pengusaha harus memberikan jawaban tertulis
kepada mediator yang isinya apakah menyetujui atau menolak anjuran tersebut dalam
jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja. Pihak yang tidak memberikan pendapatnya dalam
batas waktu yang tersebut, maka dianggap menolak anjuran tersebut.

3. Pengajuan Gugatan di Pengadilan (PHI)
Dalam hal anjuran tertulis ditolak salah satu pihak atau para pihak, maka para pihak
atau salah satu pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan tersebut pada
Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) setempat. PHI bertugas dan berwenang memeriksa
dan memutus:
a. di tingkat pertama mengenai perselisihan hak.

b. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan.

c. di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK), dimana
gugatan perselisihan karena PHK hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu 1 (satu)
tahun sejak keputusan PHK diterima atau diberitahukan.

d. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat
buruh dalam satu perusahaan.
Pengajuan gugatan ke PHI harus dilampiri risalah perundingan mediasi.
Pemeriksaan gugatan akan dilakukan oleh Majelis Hakim (3 orang hakim) terdiri satu ketua
Majelis dan 2 (dua) orang hakim Ad-hoc (hakim yang diangkat atas usul serikat pekerja dan
organisasi pengusaha). Hukum acara yang berlaku dalam pemeriksaan gugatan adalah hukum acara perdata, sehingga dalam persidangan ada acara jawab-menjawab, pengajuan bukti-bukti dan kesimpulan.

Bentuk acara pemeriksaan gugatan terdiri atas Pemeriksaan Dengan Acara Biasa dan Pemeriksaan Dengan Acara Cepat. Apabila terdapat kepentingan para pihak atau salah satu pihak yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan
permohonan, maka dapat dimohonkan agar pemeriksaan sengketa dipercepat.

Ketua Pengadilan Negeri akan mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkan
permohonan tersebut. Jangka waktu Pemeriksaan Acara Biasa paling lama 50 (lima puluh)
hari kerja terhitung sejak sidang pertama, sedangkan dalam Pemeriksaan dengan Acara
Cepat tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian kedua belah pihak, masing-masing
ditentukan tidak melebihi 14 (empat belas) hari kerja.

Ketua Majelis hakim dapat membuat Putusan Sela berupa perintah pembayaran upah oleh pengusaha, jika hal tersebut dimasukan dalam materi gugatan dan secara
nyata-nyata pihak pengusaha terbukti tidak melaksanakan kewajiban tersebut. Dalam
rangka membuat putusan atas pemeriksaan sengketa, Majelis Hakim akan mempertimbangkan hukum, perjanjian yang ada, kebiasaan dan keadilan.

Dalam isi putusan
akan ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan dan/atau hak yang harus diterima oleh
para pihak atau salah satu pihak atas setiap penyelesaian perselisihan tersebut.

Ketua Majelis Hakim dapat mengeluarkan putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu,
meskipun putusannya diajukan perlawanan atau kasasi (Uitvoerbaar bij voorraad).

4. Pengajuan Kasasi ke Mahkamah Agung RI Pihak yang tidak puas atas putusan Majelis Hakim PHI masih dapat mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung RI khusus terkait putusan mengenai perselisihan hak dan perselisihan PHK.

Putusan terkait kedua perselisihan tersebut akan menjadi putusan yang berkekuatan hukum tetap apabila tidak diajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung dalam jangka waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja:
a. bagi pihak yang hadir, terhitung sejak putusan dibacakan dalam sidang
majelis hakim;
b. bagi pihak yang tidak hadir, terhitung sejak tanggal menerima pemberitahuan
putusan.

Salah satu pihak atau para pihak yang hendak mengajukan permohonan kasasi
harus menyampaikan secara tertulis melalui Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri Setempat.

Tata cara permohonan kasasi serta penyelesaian perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja oleh Hakim Kasasi dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang
permohonan kasasi (UU No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung RI). Tenggang waktu pemeriksaan permohonan kasasi tersebut pada Mahkamah Agung selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi.

5. Eksekusi Putusan Pengadilan (PHI)
Hukum acara yang berlaku dalam pemeriksaan Perselisihan Hubungan Industrial adalah hukum acara perdata (Pasal 57 UU No.2 Tahun 2004) dan keberadaan Pengadilan
Hubungan Industrial (PHI) merupakan pengadilan khusus yang dibentuk dalam setiap
Pengadilan Negeri Kabupaten/Kotamadya setempat (Pasal 59 UU No.2 Tahun 2004).

Oleh sebab itu, apabila pihak yang dihukum tidak bersedia memenuhi isi putusan secara sukarela, maka pihak yang dimenangkan dapat menempuh upaya eksekusi sebagaimana yang berlaku atas eksekusi putusan hakim dalam perkara perdata biasa, yakni dengan
mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat. (Advokat
JeWe Nababan)