SKI | OPINI – Ada yang menarik dari kejadian hari Selasa (25/1) yang lalu dimana Ri dan Singapura menyepakati perjanjian ekstradisi setelah berpuluh tahun perjalanan lobi itu akhirnya membuahkan hasil dalam pertemuan di pulau Bintan, Kepulauan Riau. Dimana pada kesempatan tersebut, penandatanganan kesepakatan dihadiri langsung oleh Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong. Inti dari kesepakatan tersebut ada tiga hal, yaitu kesepakatan perjanjian ekstradisi, persetujuan Flight Information Region (FIR), dan perjanjian kerja sama pertahanan (Defense Cooperation Agreement / DCA).
Perjanjian Ekstradisi merupakan sebuah proses penangkapan narapidana yang bersifat lintas teritorial, dan umumnya dilakukan dengan membentuk sebuah perjanjian antara dua negara sebagai landasan hukum untuk mengembalikan seorang narapidana ke negara asalnya, serta negara asal juga berwenang untuk mengadili narapidana tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang sah di negaranya. Perjanjian ekstradisi biasanya dilatarbelakangi oleh adanya peristiwa larinya narapidana ke luar negeri, baik koruptor, teroris, pencucian uang, pidana perbankan, pembunuhan, penjahat HAM dan sejenisnya. Para narapidana yang lari ke luar negeri tersebut, pada umumnya karena memiliki jejaring lintas teritorial dengan tujuan untuk menghindarkan diri dari jerat hukum, dan/ atau mengamankan harta-harta hasil kejahatannya.
Jika melihat dari tinjauan historis, perjanjian ekstradisi antara RI dengan Singapura ini sebenarnya telah dilakukan sebanyak dua kali. Termasuk perjanjian ekstradisi pada tahun 2007, tetapi ditolak oleh DPR karena dinilai ada potensi ancaman terhadap kedaulatan wilayah Indonesia, dimana salah satu klausul dalam perjanjian tersebut menyatakan bahwa Singapura boleh menggunakan beberapa wilayah udara Indonesia.
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi menyebutkan penyerahan oleh suatu negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan kejahatan di luar negara yang menyerahkan dan di dalam yuridis wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut, karena berwenang untuk mengadili dan memidananya. Dengan demikian, ekstradisi merupakan suatu proses penyerahan terpidana atau tersangka yang ditahan oleh negara lain kepada negara asal yang memintanya. Tujuannya, agar dapat dihukum berdasarkan hukum yang berlaku di negara asal tersebut. Dalam pasal 3 ayat (2) secara mendetail menyebutkan terhadap siapa saja yang dapat diekstradisikan. Namun perlu diketahui bahwa kejahatan politik tidak dilakukan ekstradisi, sebagaimana tertera pada pasal 5 ayat (1). Ada pengecualian terhadap beberapa jenis kejahatan politik tertentu, dimana pelakunya masih dapat diekstradisikan sepanjang terdapat perjanjian antar kedua negara, misalnya pembunuhan atau percobaan pembunuhan terhadap kepala negara atau anggota keluarganya.
Kedua, Pengambilalihan Pelayanan Ruang Udara (Flight Information Region /FIR) di atas wilayah Kepulauan Riau dan Natuna. Jika merujuk pada Peraturan Menteri Perhubungan No. 55 Tahun 2016 tentang Tatanan Navigasi Penerbangan Internasional, Pelayanan Ruang Udara atau FIR adalah suatu daerah dengan dimensi tertentu di mana pelayanan informasi penerbangan (flight information service) dan pelayanan kesiagaan (alerting service) diberikan. Dengan kesepakatan ini, RI akhirnya bisa mengelola sendiri pelayanan navigasi penerbangan pada ruang udara di atas wilayah Kepulauan Riau dan Natuna, dimana pengelolaannya berada di bawah Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia atau Airnav. Perlu diketahui bahwa sebelumnya, pelayanan navigasi penerbangan di atas Kepulauan Riau dan Natuna tersebut dikelola oleh Otoritas Navigasi Penerbangan Singapura. Pengelolaan FIR di sebagian wilayah RI oleh Singapura tersebut berawal pada tahun 1946, ketika International Civil Aviation Organization (ICAO) menyatakan bahwa Indonesia belum mampu mengatur lalu lintas udara di wilayah yang disebut sektor A, B, dan C karena saat itu Indonesia baru saja merdeka dari penjajahan dan baru merintis infrastruktur penerbangan.
Kondisi fasilitas peralatan maupun tenaga lalu lintas udara Indonesia dinilai masih sangat minim sehingga pengelolaan FIR diserahkan kepada Singapura. Oleh karenanya, sejak tahun 1946, sebagian FIR wilayah barat Indonesia berada di bawah pengelolaan FIR Singapura, yakni meliputi Kepulauan Riau, Tanjungpinang, dan Natuna. FIR yang dikuasai Singapura ini mencakup sekitar 100 nautical miles (1.825 kilometer) sehingga berakibat seluruh pesawat yang hendak melintas di wilayah tersebut harus melapor ke otoritas Singapura, termasuk pesawat-pesawat milik Indonesia.
Salah satu dampak yang merugikan dari penguasaan FIR oleh Singapura, misalnya saat penerbang TNI AU harus mengantongi izin dari menara kendali penerbangan Bandara Internasional Changi untuk bisa lepas-landas atau mendarat hingga menentukan rute, bahkan ketinggian dan kecepatan. Indonesia yang merdeka sejak 1945 ini, nampaknya belum berdaulat penuh karena adanya sebagian wilayah udara dan perairan yang diatur oleh negara lain. Ruang udara di Batam dan Natuna adalah bagian dari FIR Blok A. Perairan Natuna merupakan Blok B dan C.
Sektor A mencakup wilayah udara di atas 8 kilometer sepanjang Batam dan Singapura. Sektor B mencakup kawasan udara di atas Tanjung Pinang dan Karimun. Sektor C yang berada di wilayah udara Natuna dibagi menjadi dua, Singapura mengendalikan di atas 24.500 kaki, dan Malaysia di bawah 24.500 kaki.
Sebenarnya sudah cukup lama Pemerintah RI berusaha untuk mengambil alih FIR Natuna dari Singapura. Presiden Jokowi sendiri sempat menargetkan di tahun 2019, namun baru teralisasi pada Januari 2022 ini. Dengan demikian, kerja sama penegakan hukum, keselamatan penerbangan dan kerjasama pertahanan antara kedua negara ini bisa terus diperkuat berdasarkan prinsip saling menguntungkan. Momentum ini menjadi bagian dari catatan sejarah, dimana Indonesia mampu melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan, sekaligus meneguhkan pengakuan internasional atas status Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki kedaulatan penuh ruang udara di atas wilayahnya sesuai Konvensi Chicago 1944 dan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982. Pasal 1 Konvensi Penerbangan Sipil Internasional (Konvensi Chicago 1944) berbunyi, “Every state has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory.”
Ketiga, Perjanjian Kerjasama Pertahanan (Defense Cooperation Agreement /DCA). Meskipun penandatanganan Perjanjian Pertahanan Indonesia-Singapura ini sebelumnya mendapat penolakan dari sebagian politisi Indonesia karena dianggap lemahnya daya tawar Indonesia atas Singapura, namun pada akhirnya bisa disepakati bersama. Di samping itu ada juga yang beranggapan bahwa penolakan didasarkan atas adanya sebagian wilayah Indonesia yang akan dijadikan homebase dari sejumlah peralatan militer dan pertahanan Singapura. Jika melihat catatan sejarah, sebenarnya kerjasama pertahanan antara Indonesia dengan Singapura sudah berlangsung cukup lama dan berjalan dengan baik. Pada tahun 2000 kerjasama dengan Singapura juga dilaksanakan melalui perjanjian tentang Military Training Area (MTA) sebagai daerah latihan yang dapat digunakan kedua negara, MTA I di wilayah perairan Tanjung Pinang dan MTA II di Laut Cina Selatan. Namun sayangnya, Singapura sering melibatkan pihak ketiga, seperti Amerika Serikat (AS) dan Australia sehingga sejak tahun 2003 tidak lagi memberikan fasilitas MTA kepada Singapura. Oleh karena itu Indonesia mengusulkan Persetujuan Kerjasama Pertahanan (Defence Cooperation Agreement/DCA) termasuk MTA dan disesuaikan dengan tatanan demokrasi di Indonesia.
Jika dilihat dari perspektif lain, misalnya dari keterbatasan anggaran pertahanan yang dimiliki Indonesia, maka kerjasama pertahanan ini bisa menjadi stimulus untuk mempercepat proses modernisasi berbagai fasilitas dan alutsista yang ada. Sekaligus mempertegas komitmen untuk membangun postur pertahanan, dengan pola yang berbeda. Perjanjian Defence Cooperation Agreement (DCA) memiliki tujuan untuk membentuk suatu kerangka kerjasama strategis yang komprehensif guna meningkatkan kerjasama bilateral pertahanan kedua negara berdasarkan prinsip kesetaraan, saling menguntungkan dan penghormatan penuh terhadap kedaulatan serta integritas teritorial untuk meningkatkan profesionalisme dan interoperabilitas kedua angkatan bersenjata melalui akses yang lebih besar dan saling menguntungkan pada wilayah latihan dan fasilitasnya serta melambangkan hubungan erat antara Indonesia dan singapura.
Demikianlah tinjauan umum yang bisa kita ambil dari kesepakatan pemerintah Indonesia dengan Singapura yang terkait dengan tiga aspek tadi. Baik kesepakatan perjanjian ekstradisi, pengambilalihan FIR dan kesepakatan kerjasama pertahanan. Perbedaan pendapat dan pandangan dari setiap orang tentu saja akan selalu ada, dan hal itu wajar saja. Selalu yang tampak di permukaan biasanya memiliki alasan – alasan lain yang lebih strategis untuk kepentingannya masing – masing. Ada hal – hal yang bisa dipublikasikan untuk umum, dan pasti juga ada hal – hal tertentu yang tidak bisa dipublikasikan untuk umum ketika menyangkut strategi dan rahasia negara. Namun demikian kita berharap, bahwa apa yang dilakukan merupakan hal terbaik untuk kepentingan bangsa dan negara. (YBS/Anton. K)