SKI | Medan – Direktur Narkotika dan Zat Adiktif Lainnya pada Jampidum Kejagung, Darmawel Aswar mengatakan permasalahan teknis penanganan perkara narkotika yang masuk ke Kejagung paling banyak dari Medan, Sumatera Utara.
“Baik itu persoalan penanganan bandar, pengedar, persoalan tes urin maupun persoalan penyalahgunaan informasi terkait penanganan narkotika, itu ada dari media maupun LSM. ”
Misalnya, ada yang mempertanyakan barang buktinya kecil dan tidak signifikan tapi kenapa masuk penjara,” jelas Darmawel Aswar, Rabu (15/12/2021).
Berbicara di depan awak Media, Darmawel Aswar,SH.MH mengatakan hal itu untuk menjawab wartawan di sela sela pelatihan bagi jaksa tentang penuntutan rehabilitasi pada orang dengan gangguan penyalahgunaan narkotika dalam proses hukum dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) pada kejahatan narkotika, di Hotel Aryaduta Medan, Sumatera Utara.
Pelatihan tersebut diselenggarakan Kejaksaan Agung bekerja sama dengan United Nations Office on Drugs And Crime (UNODC), selama dua hari mulai Rabu (15/12-2021) sampai Kamis (16/12-2021), dengan peserta mewakili jaksa dari 10 Kejaksaan Tinggi di Indonesia, dan 10 Kepala Seksi Pidana Umum (Kasi Pidum) dari 10 Kejari di Sumut.
“Melihat banyaknya berkas yang masuk menyangkut persoalan penanganan perkara narkotika itu, saya laporkan ke pimpinan, beberapa wilayah provinsi di Indonesia perlu atensi terutama Medan, Sumut.
“Atensi kita sekarang ini yakni Aceh, Medan/Sumut, Lampung, Banten, Kalbar, Sulawesi Selatan dan daerah lainnya untuk dilakukan pelatihan terkait penanganan narkotika,” kata Darmawel.
Versi Kejaksaan, kata Darmawel, Medan/Sumut urutan kedua setelah Aceh dari segi jumlah perkara narkoba yang ditangani Kejaksaan.
“Itu versi kita ya, bukan versi BNN, dari segi jumlah atau banyaknya perkara yang masuk atau kualitas perkaranya,” jelas sang Direktur Narkotika ini.
Darmawel mengatakan kesatuan sudut pandang dan kesatuan persepsi sesama penegak hukum dan untuk tidak saling curiga dalam memberantas narkotika sangat penting dan dibutuhkan, meski diakuinya menyatukan persepsi atau pendapat sesama penegak hukum bukan suatu yang mudah, apalagi terkadang ada egosektoral.
“Tetapi saya yakin dan percaya, Kepolisian, BNN, Kejaksaan dan MA, sudah mengeluarkan regulasi yang hampir-hampir mirip, penyidik melakukan apa, jaksa melakukan apa, Mahkamah Agung melakukan apa supaya rehabilitasi. Sudah ada regulasinya semua,” katanya lagi.
Disinggung mengenai pengusutan TPPU dalam perkara narkotika, seperti mengusut TPPU dalam perkara korupsi, menurut Darmawel, justru lebih sulit mengusut dan membuktikan tindak pidana narkotikanya karena menyangkut jaringan daripada mengusut TPPU-nya.
”Kalau TPPU-nya, yah begitu kita lihat banyak hartanya, lebih mudah. Kenapa TPPU ini menjadi penting, karena kita yakin kalau bandar bisa dimiskinkan, maka dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Itu makanya pengusutan TPPU-nya penting,” ujarnya.
Sebelumnya dijelaskan, pelatihan jaksa tersebut untuk memberikan pemahaman tentang penanganan penuntutan rehabilitasi pada orang dengan gangguan penyalahgunaan narkotika dalam proses hukum dan pencucian uang pada kejahatan narkotika.
“Tujuan kegiatan ini agar para jaksa memahami dan apa kendala penanganan hukum dan membedakan apakah sebagai korban, penyalahguna atau penjual narkotika. Selama ini korban penyalahguna sering dipenjara karena kurang pemahaman,” penjelasan Darmawel, yang didampingi Wakajati Sumut Edyward Kaban, serta perwakilan UNODC, Ade Aulia.
Darmawel mengaku pihaknya sering mendapat informasi dari media dan LSM, saat di persidangan jaksa selalu menjerat pelaku penyalahguna dengan pasal berlapis, meski pada akhirnya menerapkan pasal penyalahguna narkotika Pasal 127 UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Seharusnya saat penyerahan berkas sebaiknya jaksa menelaah terlebih dahulu, apakah katagori bandar, kurir atau penyalahguna narkotika, begitu juga para pelaku narkotika tidak hanya soal kepemilikan atau pengedar, tapi juga melihat aset dari para tersangka, Jika itu dari hasil transaksi narkotika seharusnya dikenakan UU TPPU.
“Nah, itu dilakukan saat proses penyidikan di Kepolisian atau di BNN. Ini dilakukan agar para bandar dimiskinkan dengan menyita seluruh aset dari transaksi narkotika selain hukuman penjara,” jelas Darmawel menutup keterangannya.
Sementara itu, Ade Aulia mengatakan UNODC merupakan lembaga dari PBB yang diberikan mandat untuk memberikan technical asisten dalam kejahatan narkotika. Terpenting dalam hal ini adalah menyatukan persepsi dan harus disamakan dalam lintas sektoral, karena masih banyak orang melihat permasalahan narkotika merupakan persoalan moral.
“Anggapan penyalahguna ini adalah orang jahat yang perlu dipenjarakan. Padahal, mereka adalah orang sakit atau korban yang perlu direhabilitasi,” ujar Ade Aulia.
Selain pelatihan terhadap Jaksa, Dir.Narkotika juga menyempatkan diri melakukan sosialisasi Pedoman No.11 tahun 2021 dan Pedoman No.18 tahun 2021 beserta juklaknya terhadap Jaksa-jaksa yang berada di Kejari Medan, Kejari Belawan, Kejari Deli Serdang dan cabjari yg berada di wilayah hukum Kejari Deli Serdang, sosialisasi ini merupakan upaya tersendiri Dir. Narkotika untuk memberikan pemahaman kepada para jaksa dalam menangani kasus narkotika, kasus rehabilitasi, dan TPPU Narkotika.
Selain dari pada kegiatan pelatihan juga dilakukan kunjungan ke Loka Rehabilitasi BNN di Deli Serdang dengan tujuan memberikan pemahaman kepada para jaksa apa itu rehabilitasi dan bagaimana pelaksanaannya dilapangan. (red/ijal).