SKI, Dampak dari Tsunami yang menerjang pantai di sekitar Selat Sunda, khususnya di Kabupaten Pandenglang, Serang serta Lampung Selatan, sangat memprihatinkan. Data yang diperoleh hingga Minggu (23/12) pukul 04.30 WIB tercatat 20 orang meninggal dunia, 165 luka-luka, dan dua orang hilang serta puluhan bangunan rusak.
Kejadian ini nampak menjadi perhatian banyak pihak, tidak terkecuali Ketua Pimpinan Wilayah Persatuan Insinyur Indonesia (PW PII) Provinsi Banten, Dr. Ir. H. Eden Gunawan, MM. IPM. AER.
“Kepanikan masyarakat dan tidak adanya petugas yang berwenang mengakibatkan timbulnya korban jiwa dan harta benda. Hal ini karena mereka melakukan cara sendiri dalam menghadapi kejadian alam tanpa didasari pengetahuan Sistim Operasional Prosedur (SOP),” ujar Eden Gunawan, dalam keterangan persnya yang diterima, Minggu (23/12/18).
Seperti misalnya ketika terjadi Tsunami, masyarakat dengan cara sindiri berinisiatif menuju tempat yang lebih aman. Ada juga yang tidak bergeming lantaran kebiasaan menggunakan naluri yang menduga-duga hanya air pasang bukan Tsunami. Selain itu, lanjut Eden Gunawan, pengetahuan masyarakat dalam kesiap siagaan menghadapi kejadian alam, masih sangat minim kendati wilayahnya berpotensi terjadinya gempa atau stunami.
Ini karena belum tersosialisasinya dengan baik cara menghadapi kejadian alam. Prosedur dan petunjuk bahaya tsunami dan “meeting point”nya yang dimungkinkan rusak karena tidak terawat.
“Pertanyaannya, apakah Pandeglang khususnya daerah pantai yg rawan tsunami sudah memiliki sistem peringatan dini (early warning system) bahaya tsunami dan kalau ada apakah alat itu bekerja?,” ujar Eden Gunawan, yang mengaku banyak informasi melalui whatsAppnya menanyakan peringatan dini tidak berbunyi, kendati di tempat lain ada juga yang berbunyi.
Tidak itu saja, terlihat masih adanya kelalaian dalam merawat atau memperhatikan fasilitas yang tersedia. Misal “buoy sensor tsunami” yang ada di lautan, apakah masih bekerja, habis tenaga batrei atau telah hilang di curi orang.
Eden Gunawan menyarankan, sebaiknya Dinas Perhuhungan melakukan pengecekan secara rutin. Padahal rutinitas ini bisa dilakukan dengan cara melihat logbook petugas yang berjaga.
Jika memang belum ada early warning system, sebaiknya segera dipasang karena bencana alam tidak dapat diprediksi. “Kebakaran jenggot yang berulang akan tetap terjadi selama kita tidak disiplin melakukan kegiatan latihan dan memelihara naluri dengan baik jika tidak dilakukan maka ancaman keselamatan akan lebih besar,” tandas Eden Gunawan.
Jadi sangat perlu dilakukan latihan bahaya tsunami, setidaknya enam bulan sekali agar masyarakat dan petugas terbiasa menghadapi bencana dengan baik, mulai dari menilai ancaman apakah itu bahaya tsunami atau rob. Kemudian bagaimana mengatasi ancaman jika benar-benar terjadi.
Eden Gunawan menjelaskan, SOP menghadapi tsunami dan rob itu berbeda. Jika SOP dimengerti oleh petugas dan masyarakat maka akan lebih efektif dan efisien. Efektif karena kita bisa lakukan dengan cepat dan efisien apabila mengetahui bahaya rob, maka tidak perlu berlarian ke tempat tinggi. Namun jika bentuk ancaman itu tsunami maka wajib kita lakukan SOP menghadapi tsunami. Akibat ketidaktahuan maka akan timbul korban jiwa dan kerugian yang seharusnya tidak dialami. Kepedulian terhadap bahaya ancaman tsunami dan bencana lainnya harus mendarah daging di masyarakat.
Pelajaran yang bisa diambil adalah bahwa untuk menghindari korban kebih besar, perlu menata kembali pemukiman di pantai sekaligus juga estetikanya agar memiliki dampak ganda terutama untuk para turis bisa nyaman dan betah berlama lama di sana.
Perlunya di buat tanggul tanggul alam dari pasir tanah dan tumbuhan alam terutama bakau untuk mengurangi hempasan ombak jika ada tsunami atau rob. Dan paling penting perlu ada “rebdgeting” untuk mengklasifikasi daerah rawan gempa yang sebaiknya berbanding lurus dengan anggaran untuk menanganinya, termasuk kelas kantor perwakilan bukan berdasarkan strata sistim pemerintahan daerah tetapi lebih kepada seberapa besar ancaman gempa atau bencananya. (Red SKI).
Komentar